Article

Ramadan Menulis #9: Di-Ekspor ke "madura daratan"!

Kenangan Ramadan dan Misi Gagal Belajar Bahasa Madura

Dulu, ketika Ramadan tiba, libur sekolah berlangsung sebulan penuh. Bagi anak-anak, itu adalah waktu yang menyenangkan. Namun, bukan hanya anak-anak yang menikmati liburan ini—ayah saya juga!

Lho, kok ayah?

Karena setiap liburan panjang, ayah saya punya kebiasaan “mengekspor” saya ke rumah Embah di Bondowoso. Ayah memang asli Bondowoso, dari suku Madura swasta. Lalu, apa hubungannya dengan bulan Ramadan?

Jadi begini, leluhur saya berasal dari kawasan Tapal Kuda, Jawa Timur. Mbah Uti (ibu dari ibu saya) berasal dari Pasuruan Kota, sementara Mbah Kakung (ayah dari ibu saya) dari Lumajang. Keluarga besar dari pihak ibu tersebar di Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Sedangkan keluarga ayah saya tersebar dari Bondowoso hingga Jember, termasuk Situbondo.

Mbah Kakung saya adalah seorang tentara yang sering berpindah tugas sebelum akhirnya menetap di Lawang, di sebuah kompleks perumahan tentara. Kebetulan, ayah saya juga bertugas sebagai tentara di Lawang, tidak jauh dari rumah yang dibeli Mbah Kakung.

Menariknya, keluarga Mbah Kakung banyak yang menjadi TNI. Dari pihak ayah pun ada saudara yang juga prajurit—dulu, TNI dan Polri masih berada di bawah satu naungan, yaitu ABRI. Namun, uniknya, tidak satu pun anak ayah yang mengikuti jejak beliau sebagai tentara. Tapi, itu cerita untuk lain waktu.

Sekarang, kembali ke alasan utama kenapa saya “diekspor” ke Bondowoso setiap liburan Ramadan.




Misi Ayah: Mengajari Saya Bahasa Madura

Ternyata, tujuan ayah saya mengirim saya ke Bondowoso adalah agar saya bisa berbahasa Madura! Alasan yang terdengar unik, tapi masuk akal juga. Meskipun keluarga besar ibu saya berasal dari Tapal Kuda, mereka memiliki darah Jawa, bahkan katanya masih keturunan bangsawan. Entah sekarang masih biru darahnya atau sudah pudar.

Namun, harapan ayah saya tidak terwujud. Hingga akhir hayat beliau, anak laki-lakinya yang satu-satunya ini tetap tidak fasih berbahasa Madura. Maafkan anakmu ini, my beloved father.

Kenapa Gagal Belajar Bahasa Madura?

Padahal, setiap Ramadan saya tinggal di Bondowoso selama sebulan penuh. Setiap hari saya bermain dengan sepupu dan saudara yang semuanya berbahasa Madura. Tapi tetap saja, saya tidak bisa menguasainya.

Masalahnya, saya selalu berbicara dalam bahasa Indonesia kepada semua orang—nenek, pakde, bude, paklik, dan lainnya. Yang unik, para sesepuh di sana jarang sekali berbahasa Indonesia. Mereka mengerti ketika saya berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi sulit membalasnya dalam bahasa yang sama.

Akhirnya, kami punya pola komunikasi yang unik:
Saya berbicara dalam bahasa Indonesia.
Mereka membalas dalam bahasa Madura.

Begitu terus setiap hari!

Akibatnya, saya jadi bisa memahami bahasa Madura dengan cukup baik, tapi tidak bisa berbicara dengan lancar.

Untungnya Bisa Bahasa Madura

Padahal, kalau bisa bahasa Madura, banyak manfaatnya. Salah satunya saat berbelanja di pasar. Saya pernah mengalami sendiri kejadian yang membuktikan ini.

Ketika tinggal di Yogyakarta, saya dan teman-teman pergi ke Malioboro. Saat cuaca panas, kami memutuskan membeli es dawet. Kebetulan, penjualnya orang Madura. Kami bertanya harga, dan terkejut karena mahal sekali untuk ukuran segelas dawet.

Namun, salah satu teman saya yang bergelar M.A. (Madura Asli) tiba-tiba berbicara dalam bahasa Madura dengan si penjual. Ajaib! Harga dawet langsung turun drastis!

Kami semua tertawa melihat perubahan harga yang begitu cepat hanya karena berbicara dalam bahasa Madura.


Bagaimana dengan Anda? Apakah punya pengalaman serupa?



1 komentar:

  1. Trimakaih bapak... Sudah berbagi kisah yang membuat kami mengingat bahagianya waktu kecil,

    BalasHapus

Terima kasih sudah membaca tulisan "Ramadan Menulis #9: Di-Ekspor ke "madura daratan"!"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.