Article

Ramadan Menulis #13 : NGASAK, Kearifan Lokal yang Mulai Punah

Ngasak Pari: Tradisi yang Hilang di Tengah Modernisasi

Ketika masih kecil, salah satu momen yang paling ditunggu adalah musim panen padi. Pada masa itu, panen bukan sekadar aktivitas pertanian, tetapi juga sebuah peristiwa besar yang melibatkan banyak orang di desa. Tanpa mesin-mesin modern seperti sekarang, panen padi dilakukan secara manual, mengandalkan tenaga manusia yang bekerja secara bersama-sama.

Proses panennya cukup unik. Para pria bertugas menyabit padi yang sudah menguning, lalu mengumpulkannya di titik tertentu di sawah. Di sana, kelompok lain bertugas "nggebloki," yaitu memukulkan batang padi ke batu atau rangka kayu agar bulir-bulir padinya rontok. Setelah itu, batang padi yang kosong dikumpulkan hingga membentuk gunungan jerami yang menjulang tinggi.




Gunung jerami inilah yang menjadi arena bermain favorit anak-anak. Kami sering bermain gulat, melompat dari puncaknya, atau sekadar berguling-guling di atasnya. Meskipun setelahnya tubuh terasa gatal, keseruannya membuat kami tak pernah kapok. Selain bermain, kami juga suka membakar ubi jalar di antara tumpukan jerami kering. Rasanya, ubi bakar saat itu jauh lebih nikmat dibandingkan makanan apa pun!

Tak hanya itu, panen juga menjadi ajang berbagi. Para pekerja mendapat hidangan sederhana berupa nasi jagung, ikan asin, tempe goreng, mentimun muda, dan sayur lodeh. Bagi kami, anak-anak, ikut menikmati makanan ini di tengah sawah terasa seperti sebuah pesta kecil yang selalu ditunggu-tunggu.

Namun, ada satu pemandangan lain yang menarik perhatian, yaitu keberadaan ibu-ibu tua yang memunguti sisa-sisa gabah yang tercecer di sawah. Aktivitas ini disebut "ngasak pari." Mereka membawa wadah sendiri dan dengan sabar mengumpulkan bulir padi yang tersisa setelah panen utama selesai. Tradisi ini mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam seoptimal mungkin, tanpa ada yang terbuang sia-sia.

Sayangnya, aktivitas "ngasak pari" kini nyaris punah. Seiring dengan perkembangan teknologi pertanian dan penggunaan mesin modern, tak ada lagi gabah yang tercecer seperti dulu. Tradisi yang dulu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa perlahan menghilang.

Pertanyaannya, apakah tradisi ini perlu dilestarikan? Dalam konteks ketahanan pangan dan prinsip keberlanjutan, semangat "ngasak pari" bisa dijadikan inspirasi dalam kehidupan modern. Sikap hemat, cermat, dan gotong royong adalah nilai-nilai yang masih relevan hingga kini. Bagaimana menurut Anda? Apakah ada cara untuk tetap menjaga semangat tradisi ini di era sekarang? Tuliskan pendapat Anda di kolom komentar!


Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Ramadan Menulis #13 : NGASAK, Kearifan Lokal yang Mulai Punah"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.