Article

Ramadan Menulis #15: Mbah Putri dan Komik

Masa Kecil, Simbah, dan Komik yang Menemani

Komik adalah bagian dari masa kecil saya. Namun, tidak seperti kebanyakan anak yang menikmati komik di rumah orang tuanya, saya justru mengenal dan mencintai komik di rumah simbah.
Loh, kok di rumah simbah?

Iya, karena ayah saya adalah seorang prajurit TNI. Di masa itu, beliau sering berpindah tugas, bahkan beberapa kali harus terjun langsung ke medan perang. Seingat saya, ayah tiga kali bertugas dalam konflik di Timor Timur. Konon, beliau termasuk dalam pasukan perintis yang lebih dulu dikirim ke daerah konflik.

Meskipun ayah tidak pernah bercerita banyak tentang pengalamannya di medan perang, saya mendapat sedikit gambaran dari cerita ibu dan para tetangga. Kebanyakan dari mereka juga anggota TNI, karena memang lingkungan tempat tinggal kami adalah kompleks perumahan pertama di kota kami yang diperuntukkan bagi anggota TNI. Lokasinya pun berdekatan dengan markas besar TNI.

Simbah kakung saya juga seorang prajurit. Beliau mengabdikan dirinya hingga akhir hayat. Seingat saya, beliau meninggal dunia karena sakit saat masih bertugas di sebuah Koramil di lereng Gunung Semeru.

Karena sering berpindah tugas, ayah mengambil keputusan besar: meninggalkan saya dalam asuhan simbah putri. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Jika saya terus ikut berpindah-pindah bersama ayah, pendidikan saya bisa terganggu. Maka, saya pun tumbuh di rumah simbah, yang kemudian menjadi tempat pertama bagi saya mengenal banyak hal—termasuk kecintaan terhadap membaca dan komik.

Simbah Putri dan Budaya Membaca

Simbah putri saya adalah seorang yang gemar membaca. Beliau berlangganan beberapa majalah, di antaranya majalah Kartini dan majalah berbahasa Jawa yang terbit dua mingguan, Panjebar Semangat. Sejak kecil, saya sudah akrab dengan bacaan-bacaan ini. Setelah saya pikir-pikir, simbah putri adalah sosok yang cukup langka di zamannya.

Saat itu, budaya membaca belum begitu berkembang, apalagi sumber bacaan masih terbatas. Namun, beliau dengan tekun meluangkan sebagian uang belanjanya untuk berlangganan majalah. Bahkan, ketika saya menginjak kelas 3 atau 4 SD, di rumah kami juga langganan majalah Bobo.

Majalah Bobo tidak hanya menjadi sumber hiburan, tetapi juga tempat pertama saya mencoba menulis. Saya pernah mengirim surat pembaca ke majalah itu, bahkan pernah memenangkan kuis dan mendapatkan tas sebagai hadiahnya. Momen-momen kecil seperti ini menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi saya.

Komik dan Dunia Imajinasi yang Menyenangkan

Selain majalah, yang tak kalah seru di rumah simbah adalah koleksi komiknya. Simbah putri dan anak-anaknya—paman dan bibi saya—sama-sama gemar membaca komik. Waktu itu, komik masih dicetak dalam format hitam putih, namun tetap menarik untuk dinikmati.

Tema yang paling populer saat itu adalah komik silat, terutama yang berlatar belakang kerajaan-kerajaan di tanah Jawa. Salah satu seri komik yang masih membekas dalam ingatan saya hingga sekarang adalah Cupu Manik Astagina.

Kegemaran membaca komik ini akhirnya mendorong saya untuk mencari lebih banyak lagi. Saya mulai sering pergi ke perpustakaan yang juga berfungsi sebagai toko buku untuk menyewa komik-komik lain. Saya rela menyisihkan sebagian uang saku agar setiap akhir pekan bisa membaca komik baru.

Dari sanalah kecintaan saya terhadap komik semakin bertumbuh. Bagi saya, komik bukan sekadar hiburan, tetapi juga jendela ke dunia lain, tempat saya bisa berimajinasi, belajar, dan memahami berbagai kisah yang menarik.

Kenangan yang Tak Terlupakan

Begitulah awal mula saya bersinggungan dengan komik. Dari rumah simbah, dari majalah-majalah langganan beliau, dan dari perpustakaan kecil yang saya kunjungi setiap akhir pekan.

Bagaimana dengan kalian? Apakah ada kenangan khusus tentang bagaimana kalian pertama kali mengenal dan mencintai komik?


Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Ramadan Menulis #15: Mbah Putri dan Komik"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.