Di antara lelahnya menunaikan tugas seorang guru, ada saja yang membuat hati seorang guru menjadi sejuk.
Cerita ini tentang Nadia, seorang guru baru yang baru dua bulan mengajar di almamaternya dulu. Siapa sangka, setelah lulus kuliah dan memilih jalur pendidikan, ia kembali mengabdi di sekolah tempatnya dulu menuntut ilmu. Sekarang, ia mengajar Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk anak-anak kelas 2. Selain itu, ia juga dipercaya mengampu ekstrakurikuler tahfidz.
Mengajar anak kelas 2 SD itu seperti mengurus kebun bunga. Ada yang sudah mekar mandiri, ada yang masih malu-malu dan manja, ada juga yang usil dan suka jahil ke teman-temannya. Tapi dari semua tingkah laku yang beragam itu, ada satu anak yang selalu berhasil menarik perhatian Nadia. Namanya Gibran.
Gibran ini unik. Setiap hari, dia pasti yang paling terakhir pulang. Tapi bukan karena malas atau masih asyik bermain. Justru sebaliknya. Sebelum pulang, ia selalu menghampiri guru yang mengajar hari itu, termasuk Nadia.
"Terima kasih, Ibu," ucapnya sambil menyalami tangan Nadia. Setelah itu, ia baru berpamitan untuk pulang.
Sikapnya yang santun itu berbanding lurus dengan kecerdasannya. Gibran selalu jadi yang pertama selesai mengerjakan tugas atau ulangan. Yang lebih menakjubkan lagi, nilainya hampir selalu sempurna. Seringkali, saat teman-temannya masih sibuk berkutat dengan soal, ia sudah menghampiri Nadia.
"Ibu, bolehkah saya belajar untuk ulangan berikutnya?" tanyanya dengan sopan.
Tentu saja Nadia mengizinkan. Setelah mendapat izin, Gibran segera mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari tasnya. Sikapnya yang begitu mandiri dan terencana membuat Nadia penasaran.
"Itu buku apa, Gibran?" tanya Nadia suatu hari.
"Ini buku catatan, Bu," jawab Gibran dengan wajah ceria. "Setiap aku belajar, aku mencatat hal-hal penting agar aku tidak lupa."
Nadia tersenyum, hatinya bangga. Anak sekecil ini sudah tahu cara belajar yang efektif.
"Kamu belajar sendiri atau dibantu orang tua?"
"Belajar sendiri, Bu. Tapi kalau ada yang tidak bisa, baru aku minta bantuan Mama," jawabnya jujur.
Nadia jadi teringat, ini bukan pertama kalinya ia berinteraksi dengan Gibran. Saat Gibran masih kelas 1, Nadia pernah mendapat tugas menjaga ujian di kelasnya. Saat itu pun Gibran menjadi anak terakhir yang pulang.
"Ibu namanya siapa?" tanya Gibran waktu itu.
"Ibu Nadia," jawab Nadia sambil tersenyum.
"Terima kasih, Ibu Nadia," kata Gibran, lalu ia menyalami tangan Nadia dengan sopan sebelum pulang.
Momen-momen kecil seperti inilah yang sering disebut para guru sebagai Ordinary Miracle—keajaiban kecil yang terjadi setiap hari. Di tengah rutinitas dan tantangan, tingkah laku manis dan cerdas seperti Gibran menjadi penyemangat yang tak ternilai, mengingatkan bahwa ada kebaikan dan harapan yang tumbuh dari setiap benih ilmu yang disebar.
Tidak ada komentar: