by : Andreas Anaya
Kita hidup di dalam pola-pola. Pola-pola ini seperti data. Ada yang begini, ada yang begitu. Ada yang memiliki wajah berbeda, sikap berbeda. Ada yang tinggi, ada yang relatif lebih pendek, dan seterusnya. Pola-pola ini memiliki blueprint yang sudah ada sejak lahir. Ada pula yang teraktivasi di masa kanak-kanak dan remaja. Pola-pola ini terus mengalir seperti sungai, seperti data-data yang bergerak tanpa henti. Dan kita senantiasa hidup di dalam data-data itu, di dalam pola-pola itu.
Nah, pola-pola ini dalam kehidupan sehari-hari, jika kita hanya hanyut, akan mengendalikan kita. Kita seolah-olah dimakan oleh pengalaman itu sendiri. Kita hanyut di dalam pola-pola tersebut, seperti hanyut dalam arus sungai. Padahal pola-pola ini berlapis-lapis. Ada pola yang sangat mentah, misalnya hujan deras dan banjir. Lalu muncul pola berikutnya berupa rasa tidak nyaman terhadap cuaca, karena ada dampak-dampak yang ditimbulkan. Setelah itu muncul interpretasi terhadap pola tersebut. Misalnya, kita menerjemahkannya sebagai kutukan, atau sebaliknya sebagai musibah yang masih bisa kita pandang dengan welas asih. Semua itu bergantung pada cara kita menerjemahkan.
Pola-pola ini bertumpuk satu sama lain. Kita menerjemahkan, lalu perasaan kita bereaksi. Sistem saraf kita ikut bereaksi. Muncul pengalaman mentah dari kehidupan itu sendiri. Semua ini adalah pola. Jika kita hanya hanyut di dalamnya, kita akan dikendalikan oleh pola-pola tersebut.
Namun, jika pola-pola ini kita lawan atau tekan, itu pun sebenarnya tetap membuat kita terjebak di dalam pola. Pola melawan dan menekan juga adalah bentuk hanyut, yaitu hanyut dalam kemarahan kita terhadap pola itu sendiri. Kita hanyut dalam dorongan untuk membenci dan melawan.
Pilihan lain yang sering muncul adalah bersikap acuh tak acuh. Kita mencueki pengalaman itu, menumpulkan diri, berpura-pura tidak tahu bahwa ada pola-pola yang kompleks ini. Kita menutup mata. Namun cara ini pun tidak berhasil, karena pola-pola tersebut akan terus mengetuk dan mendesak kita.
Di luar tiga sikap itu, ada satu sikap alternatif. Yaitu kita berjeda. Kita mengambil jeda, memberi ruang, dan meruangi pola-pola tersebut. Kita tidak harus hanyut di dalamnya. Ada jeda, ada jarak.
Kita memang masih berada di dalam pola-pola itu. Kita masih hidup di dalam kehidupan ini. Kita masih merupakan kumpulan data berupa tubuh, pikiran, dan perasaan. Namun dengan berjeda, data-data dan pola-pola ini menjadi lebih longgar. Kita mulai tampak sebagai ruang yang meruangi data-data tersebut, seperti langit yang meruangi awan-awan.
Dari sini muncul kejernihan dalam melihat. Kita bisa memahami pola-pola itu dengan lebih jernih. Kita bisa melihat dengan lebih jelas mengapa sesuatu terjadi seperti ini dan seperti itu, meskipun banyak pola tetap menjadi misteri karena kompleksitasnya yang luar biasa.
Namun, kita menjadi lebih sehat. Hidup terasa lebih mengandung permakluman dan penerimaan yang muncul secara alami. Walaupun perasaan kita belum tentu sepenuhnya menerima, tetapi secara niat dan kejernihan pikiran, kita bisa melihat bahwa memang seperti inilah kenyataannya dan seperti inilah adanya.
Dari situ muncul kejernihan dalam bersikap. Kita berelasi dengan kehidupan dari ruang yang lebih terbuka dan lebih longgar. Pola-pola tidak lagi mencekik kita, melainkan menjadi sesuatu yang bisa kita relasi dengan jernih.
Tidak ada komentar: