Bagi anda yang pernah nonton film spiderman 3, maka anda akan tahu bahwa disana ada dua spiderman, satu berwarna merah dan yang lain hitam.
Tapi bukan itu yang hendak saya bahas
Dalam film tersebut digambarkan betapa sang jagoan ternyata juga bisa cengeng, apalagi ”hanya karena masalah perempuan” [no woman no cry – he..he..]
Dan kita bisa mengetahu ”sisi manusiawi” dari sang jagoan – kalo nggak salah sempet nangis si peter parker [manusia dibalik kostum spiderman] karena percitaannya dengan MJ yang terancam kandas.
Tentu itu sangat kontras dengan sosok jagoan dibalik kostum laba-laba merah yang selalu jagoan dan jadi dewa penolong bagi orang-orang lemah.
Itulah darkside-nya spiderman yang saya maksud.
Dan semua orang dari kita mempunyai ”dark-side” itu.
Ya semua dari kita!
Dark-side itu bisa macam-macam: masa lalu yang kelam, kebiasaan buruk kita, kecemasan kita, dan sebagainya – intinya kelemahan yang ada pada diri kita.
Dan yang namanya dark-side – kita senantiasa menyembunyikannya agar hal itu “benar-benar gelap” bagi orang lain.
Mengapa demikian?
Tentu bagi kita – terutama yang sudah dikenal orang sebagai seorang pribadi yang lebih, unggul dan bahkan menginspirasi orang banyak – tidak ingin mengetahui – karena jika orang lain mengetahuinya maka kehormatan, penghargaan dan semua yang ada di mata orang lain itu akan sirna. Dan itu yang sangat kita takutkan.
Saya punya seorang teman. Dia seorang jurnalis. Suatu saat karena kedekataannya dengan seorang pengusaha terkenal di Jakarta, dia diminta membuat sebuah majalah tentang bisnis dan ketenaga kerjaan. Disana dia jadi pimrednya. Tetapi ternyata dia tidak bisa bertahan lama dengan pekerjaan yang bergaji cukup besar untuk ukuran seorang bujangan yang baru beberapa saat lulus kuliah.
Permasalahannya “hanya sepele” ternyata tujuan sang bos untuk membuat majalah itu salah satunya adalah “untuk memberi pekerjaan “ bagi anaknya yang kalo nggak salah fresh graduate dari luar negeri.
Yang membuat temen saya tidak betah adalah. Sang bos muda ini betul-betul bossy, kerjaannya kalo dikantor cuman ceting [hayo ngaku yang suka cetingan di kantor ] dan perintah sana-perintah sini. Temen saya yang idealis tidak cocok dengan pola kerja seperti itu.
Dia merasa sangat menyesal dengan ayah sang bos kecil! Dia kehilangan rasa hormat pada sang ayah – terlebih kepada anaknya!
***
Itulah contoh kecil akibat dari darkside yang ”terbongkar”.
Nah kawan, kita semua punya the dark-side of our live.
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, Bagaimana mengelola the darkside tadi?
Pertama, mengakui bahwa setiap kita mempunyai the dark-side dan itu manusiwai. Oleh karenanya kita tidak perlu panik, mengetahu kita mempunyai kelemahan, kita mempunyai masa lalu yang kelam dan seterusnya.
Kedua, mensyukurinya jika sampai saat ini tidak ada – atau tidak banyak – orang yang tahu akan dark-side kita. Artinya Allah masih melindungi kita dari aib kita, sehingga yang perlu kita lakukan adalah berusaha menjadi lebih baik dan meminimalisir dark side kita agar tidak “tiba-tiba muncul” di saat kita lengah.
Ketiga, memperbaiki diri. Jelas tidak ada orang yang sempurna, yang ada orang yang berusaha untuk menjadi sempurna dan lebih baik setiap saat.
Keempat, menjadikan hal itu sebagai kontrol bagi kita agar tidak terlalu sombong dan silau oleh pandangan orang lain terhadap kita saat ini. Dan yang lebih penting lagi tidak memandang orang lain sebagai orang yang rendah, hina atau yang semisalnya ketika kita mengetahui bahwa orang lain mempunyai kekurangan. Ingatlah bahwa kita pun hakikatnya sama saja dengan orang tersebut.
Itulah kira-kira yang bisa kita lakukan?
Anda punya saran yang lain?
Tidak ada komentar: