Article

Ramadan Menulis #5: Es Cao

Waktu saya masih kecil, takjil di rumah atau di masjid itu sederhana. Tidak ada yang “aneh-aneh” seperti sekarang—yang namanya saja kadang sulit diingat, seperti manggo sago atau jajanan kekinian lainnya. Dulu, takjil yang umum hanya teh hangat, kolak pisang, atau tahu goreng.

Tapi ada satu takjil yang menurut kami sangat istimewa—hampir semua anak menyukainya: es cincau hitam. Ya, di zaman saya dulu, belum ada tren cincau hijau seperti sekarang. Yang ada hanya cincau hitam, dan kami biasa menyebutnya es cao.



Yang lebih seru lagi, karena zaman dulu kulkas masih barang langka, setiap sore kami punya ritual khusus: membeli es batu balok. Es ini biasanya dipakai untuk mengawetkan ikan di pasar, tapi bagi kami, itu adalah satu-satunya sumber es untuk membuat minuman segar. Dengan hanya 100 rupiah, kami sudah bisa mendapatkan potongan es balok yang besar—cukup untuk membuat minuman dingin sekeluarga!

Dulu, hampir semua penjual es, baik yang di warung, yang mangkal, atau yang keliling seperti penjual es dawet dan es sirup, pasti memakai es balok. Tidak ada yang menganggapnya tidak higienis. Sekarang? Mungkin generasi Z tidak tahu apa itu es balok. Bahkan, bisa jadi mereka akan langsung merasa jijik kalau melihat minuman yang dibuat dengan pecahan es balok.

Bagaimana dengan tempat kalian? 

Masih ada yang memakai es balok untuk minuman? 

Atau semuanya sudah beralih ke es batu dari kulkas rumah?

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Ramadan Menulis #5: Es Cao"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.