Article

Ramadan Menulis #17: Popok Ayam

Halaman Luas yang Penuh Kehidupan

Di belakang rumah Simbah, terdapat halaman luas sekitar 200 meter persegi yang dipenuhi tanaman. Berbagai pohon seperti kelapa gading hijau, belimbing, dan alpukat tumbuh subur, ditemani tanaman lain seperti singkong dan sayuran bayam. Dulu, rumah Simbah belum memiliki pagar permanen dari tembok, sehingga jajaran pohon lamtoro setinggi 1,5 hingga 2 meter berfungsi sebagai pembatas alami dari halaman depan hingga belakang. Rumah Simbah berada di ujung kompleks, berbatasan dengan sawah di sebelah kiri dan rumah tetangga di sebelah kanan.



Pohon-pohon di Sekitar Rumah

Di antara deretan pohon lamtoro, ada satu pohon kelapa gading merah di ujung depan, diikuti tiga pohon sirsak, satu pohon jambu kapas (yang kini lebih dikenal sebagai jambu kristal), satu pohon rambutan, dan satu pohon nangka di ujung belakang. Sementara di bagian depan rumah, sekitar tujuh meter dari pohon kelapa gading merah, berdiri pohon kelapa gading kuning. Dengan demikian, ada tiga pohon kelapa dengan warna berbeda di sekitar rumah Simbah. Pohon-pohon ini tidak terlalu tinggi, sehingga teman-teman dari SD hingga SMA sering mampir untuk menikmati kelapa muda yang airnya segar dan manis meskipun ukurannya tidak besar, hanya seukuran dua kepalan tangan orang dewasa.

Kandang Ayam dan Tugas Harian

Di belakang rumah, terdapat dua atau tiga kandang ayam yang berisi cukup banyak ayam kampung. Ayam-ayam ini telah dipelihara sejak sebelum aku lahir, dan tugas merawatnya diwariskan secara bergiliran. Awalnya, dua omku yang bertanggung jawab memberi makan dan membersihkan kandang. Namun, setelah mereka lulus dari STM (sekarang SMK), tugas itu beralih kepadaku.

Rutinitas pagiku dimulai setelah salat Subuh. Aku menjerang air di tungku kayu, lalu menuangkan air panas ke ember berisi dedak atau katul untuk sarapan ayam-ayam itu. Tugas yang paling unik adalah mencuci "popok" beberapa ayam di sungai kecil dekat rumah Simbah. Sungai ini adalah sungai irigasi peninggalan Belanda yang mengalir di sekitar kompleks tempat kami tinggal.

Ayam yang Memakai "Popok"

Ayam-ayam di rumah Simbah memang memakai "popok." Beberapa ayam lebih suka tidur di dapur tempat tungku kayu daripada di kandang utama. Rumah Simbah memiliki dua dapur: satu dapur permanen dari tembok untuk memasak sehari-hari dan satu dapur sederhana dengan tungku kayu, beratap seng, serta berdinding kayu dan bambu. Di dapur kedua itulah beberapa ayam memilih tidur. Supaya lantai dapur tidak kotor, ayam-ayam ini tidur di atas karung plastik bekas pupuk yang telah dibelah dua dan ditutup dengan kurungan ayam besar dari bambu.

Setiap sore sebelum Magrib, aku harus menggiring mereka masuk ke dalam kurungan. Lalu, pagi harinya, aku bertugas membangunkan mereka dan mencuci "tempat tidur" mereka di sungai. Ritual ini berlangsung sejak aku SD hingga SMA. Bagi orang lain, mencuci popok ayam di sungai mungkin terdengar aneh, tetapi bagi kami, itu adalah bagian dari keseharian.

Hasil Ternak yang Melimpah

Ayam-ayam itu menghasilkan banyak telur, cukup untuk kebutuhan keluarga. Aku lupa apakah telur-telur itu juga dijual ke tetangga, karena beberapa tetangga di kompleks juga memelihara ayam. Namun, aku ingat betul bahwa karena saking banyaknya telur, aku sering bermain di kandang dan bahkan memakan telur mentah langsung dari cangkangnya.

Kebiasaan Konsumsi Telur Mentah

Kebiasaan makan telur mentah itu berlanjut hingga SMP dan SMA. Saat Ibu tidak sempat menyiapkan sarapan, aku hanya perlu membuat secangkir kopi panas dan mencampurkannya dengan dua butir telur ayam kampung mentah. Rasanya? Aku tak terlalu memikirkannya kala itu, yang penting mengenyangkan dan memberi energi untuk sekolah. Sekarang, kalau dipikir-pikir, kebiasaan itu memang cukup aneh.

Kenangan yang Tak Tergantikan

Kini, jika mengenang masa kecilku di rumah Simbah, aku sering tersenyum sendiri. Dari menggiring ayam sebelum Magrib, mencuci "popok" mereka di sungai, hingga makan telur mentah dengan kopi, semuanya adalah bagian dari perjalanan yang membentuk diriku. Hal-hal sederhana yang dulu terasa biasa saja kini terasa begitu berharga. Rumah Simbah, dengan segala kehangatannya, tetap menjadi bagian dari cerita hidupku yang tak tergantikan.

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah membaca tulisan "Ramadan Menulis #17: Popok Ayam"!
Jika Anda punya kritik, saran, masukan atau pertanyaan silahkan tinggalkan pesan Anda melalui kolom komentar di bawah ini.